Di sepanjang malam kau masih saja menulis di buku harianmu "ke mana tangisku yang telah lama menganak sungai di puncak tursina"

Wajah kita terlalu muda tuk merasakan luka walau pada akhirnya kita harus menyerah pada cahaya dunia pertama

Ah tiba-tiba aku takut pada kehidupan.. Kemana aku harus merantau menjadi musafir lagi?,

Berapa bahtera tlah kau tancapkan ditubuh moyangmu sedang waktu meneteskan cahaya fajar ..

Dengan angin dan hujan kita bernafas, berjalan, Bergandengan tangan tanpa tujuan lalu betapa purnamanya tertinggal dimatamu

Kerling matamu mengingatkanku pada pesisir bentar.

Mungkinkah kau dengar? Ini hati pecah berkali kali

Aku ingin mengukir wajahmu diatas batu . Ditempat duduk kita dulu

Aku tak bisa bedakan antara sinar pagi dan wajah ibuku. Begitu santun membelai daun-daun.

Aku harus balik sebelum kereta tiba pada senja